LINE Hancur di Indonesia oleh Fiturnya Sendiri?

Bagaimana Inovasi Justru Menjadi Pedang Bermata Dua

Pendahuluan

LINE, aplikasi pesan instan asal Jepang, pernah menjadi salah satu pemain utama di Indonesia sekitar tahun 2013–2016. Dengan karakter LINE Friends seperti Brown dan Cony yang lucu, serta stiker ekspresif dan konten lokal yang kuat, LINE sempat merajai hati pengguna muda Indonesia.

Namun, saat ini, LINE nyaris tidak terdengar lagi dalam perbincangan aplikasi pesan utama. WhatsApp dan Telegram jauh melampauinya dari sisi jumlah pengguna aktif. Yang menarik, penurunan ini bukan hanya karena persaingan, tapi justru karena fitur-fitur yang awalnya menjadi keunggulannya.






1. Terlalu Banyak Fitur = Beban untuk Pengguna

LINE bukan hanya aplikasi pesan. Ia berkembang menjadi “super app”: ada LINE Today (berita), LINE Webtoon, LINE Shopping, bahkan layanan dompet digital LINE Pay.

Masalahnya:

  • Aplikasi menjadi berat dan lambat di perangkat kelas menengah ke bawah — yang dominan di Indonesia.

  • UI/UX menjadi kompleks; pengguna hanya ingin chatting, tapi harus melewati berbagai tab dan banner promosi.

  • Banyak pengguna yang merasa “dijual” ke berbagai fitur komersial, bukan dilayani untuk kebutuhan utama mereka: chatting cepat dan sederhana.


2. Push Notifikasi Berlebihan

LINE dikenal suka mengirim notifikasi untuk konten yang bukan pesan pribadi, seperti:

  • Promo dari LINE Today.

  • Update dari Official Account yang diikuti paksa.

  • Notifikasi event atau stiker baru.

Ini membuat pengguna merasa terganggu. WhatsApp, sebaliknya, sangat minim notifikasi — hanya fokus ke pesan pribadi dan grup, sesuai ekspektasi dasar pengguna.


3. Fitur Sosial yang Tidak Sesuai Kebutuhan Mayoritas

LINE mengembangkan fitur seperti Timeline, OpenChat, dan profil personal seperti media sosial mini. Namun fitur-fitur ini:

  • Tidak semua pengguna Indonesia butuhnya.

  • Membingungkan pengguna yang hanya ingin aplikasi untuk kirim pesan.

  • Overlap dengan fungsi media sosial lain seperti Instagram atau Facebook, tapi tidak sekuat mereka.

Alih-alih jadi nilai tambah, fitur-fitur ini justru membuat LINE kehilangan identitas utamanya.


4. Fragmentasi Pengalaman Pengguna

Alih-alih membuat satu pengalaman terintegrasi, LINE “memecah” pengalamannya:

  • Aplikasi utama untuk chatting.

  • LINE Today untuk berita.

  • LINE Webtoon sebagai aplikasi terpisah.

  • LINE Pay yang terbatas dan kalah saing dengan dompet digital lokal (OVO, GoPay, DANA).

Pengguna harus melompat antar-platform, yang tidak efisien, terutama di pasar seperti Indonesia yang menghargai kemudahan.


5. Kalah dari WhatsApp dalam Fungsi Inti

WhatsApp menang dalam:

  • Sederhana dan ringan.

  • Antarmuka bersih dan tidak terlalu “jualan”.

  • Integrasi erat dengan nomor telepon dan buku kontak.

  • Enkripsi end-to-end yang menjadi nilai lebih dalam privasi.

LINE terlalu fokus menjadi platform hiburan dan media, sementara WhatsApp tetap berfungsi sebagai alat komunikasi inti.


Kesimpulan

Ya, LINE sebagian besar "menghancurkan" dirinya sendiri di Indonesia karena ambisi terlalu besar.
Fitur-fitur yang dimaksudkan untuk menjadi nilai tambah justru membingungkan, membebani, dan mengganggu pengguna. Ditambah dengan hadirnya aplikasi lain yang lebih ringan, fokus, dan cepat, pengguna pun berbondong-bondong meninggalkan LINE.


Pelajaran dari Kasus LINE di Indonesia

  1. Fokus pada fungsi inti sangat penting.

  2. Sederhana > Kompleks, apalagi di pasar negara berkembang.

  3. Inovasi harus berbasis pada kebutuhan pengguna, bukan ego produk.

  4. Notifikasi bukan berarti engagement — bisa juga jadi gangguan.


Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama