Pendahuluan
Sebagai seseorang yang tumbuh besar dengan sistem operasi Windows, saya bisa bilang Windows sudah seperti rumah kedua. Dari bermain game waktu kecil, mengerjakan tugas sekolah, hingga pekerjaan sehari-hari — semuanya dilakukan di sistem operasi buatan Microsoft itu. Namun, seiring waktu dan rasa ingin tahu yang makin besar tentang dunia teknologi, saya merasa tertantang untuk mencoba hal baru. Pilihan saya jatuh pada salah satu distro Linux yang terkenal minimalis namun powerful: Arch Linux.
Artikel ini adalah catatan pengalaman pribadi saya, seorang pengguna Windows seumur hidup, yang memutuskan untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba sesuatu yang sangat berbeda — Arch Linux.
Meninggalkan Windows: Bukan Keputusan yang Mudah
Migrasi dari Windows bukan perkara ringan. Banyak kebiasaan yang harus diubah: tidak ada lagi double-click installer, tidak ada Control Panel, dan tentu saja, tidak ada GUI yang familiar. Saya tahu saya akan menghadapi banyak hal baru, tapi saya tidak menyangka betapa dalamnya perbedaan antara Windows dan Arch Linux.
Namun, justru karena itulah saya tertarik. Saya ingin mengerti, bukan hanya menggunakan. Dan Arch Linux, dengan pendekatannya yang DIY (do it yourself), menawarkan pengalaman belajar yang tidak diberikan Windows.
Instalasi: Ujian Mental Pertama
Langkah pertama langsung menguji mental — proses instalasi Arch Linux sepenuhnya dilakukan melalui terminal. Tidak ada tombol "Next" atau "Install Now". Mulai dari partisi disk, memilih filesystem, hingga mengatur bootloader, semuanya dilakukan manual.
Saya banyak mengandalkan dokumentasi resmi Arch Wiki — dan jujur, itu adalah dokumentasi teknis terbaik yang pernah saya baca. Meski sempat bingung dan beberapa kali salah langkah, saya berhasil menginstal sistem dasar. Rasanya seperti membangun rumah sendiri dari pondasi.
Pertemuan dengan Pacman dan AUR
Setelah sistem berjalan, saya mulai mengenal Pacman, manajer paket Arch Linux. Tidak ada lagi "Next-Next-Finish" seperti di Windows. Semua cukup dengan mengetik satu baris perintah. Kemudian saya mengenal AUR (Arch User Repository), gudangnya aplikasi-aplikasi luar biasa yang dibuat dan dipelihara komunitas.
Dengan bantuan yay
, saya bisa menginstal software seperti Google Chrome, Spotify, dan bahkan Steam, semua lewat terminal. Ini berbeda, tapi jauh lebih efisien dan ringan dibanding proses instalasi di Windows.
Kustomisasi Tanpa Batas
Di Windows, kamu hidup di rumah yang sudah jadi. Di Arch Linux, kamu membangun rumahmu sendiri dari kerangka. Saya memilih memasang i3wm, window manager yang sangat ringan dan bisa disesuaikan. Awalnya terasa asing dan membingungkan, tapi setelah terbiasa, saya merasa sistem ini lebih cepat dan efisien dari Windows.
Saya bisa mengatur segalanya — shortcut, tampilan, aplikasi startup — semuanya sesuai kebutuhan saya. Tak ada bloatware, tak ada proses latar belakang yang tidak saya inginkan. Rasanya seperti mengendarai kendaraan yang sepenuhnya saya rakit sendiri.
First Impression: Berat di Awal, Nikmat di Akhir
Migrasi dari Windows ke Arch Linux tidak bisa dibilang mudah. Tapi itulah nilai tambahnya. Setiap tantangan yang saya hadapi justru membuka wawasan baru. Saya mulai memahami bagaimana sistem operasi bekerja, cara kerja partisi, manajemen paket, hingga struktur direktori Linux.
Kini, saya jauh lebih percaya diri menghadapi masalah teknis. Bahkan, saya merasa lebih "melek teknologi" dibanding saat masih memakai Windows sepenuhnya.
Kesimpulan
Meninggalkan Windows adalah keputusan besar, tapi mencoba Arch Linux justru membuat saya lebih menghargai sistem operasi yang saya gunakan. Arch Linux mengajarkan saya untuk tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga menjadi orang yang mengerti.
Kalau kamu ingin belajar lebih dalam tentang bagaimana komputer bekerja, ingin kebebasan penuh atas sistemmu, dan tidak takut belajar dari nol — Arch Linux adalah tempat belajar terbaik yang bisa kamu coba.